Tak
hanya QS. Al-Baqarah: 183, di bulan Ramadhan biasanya hewan yang satu
ini pun ikut naik daun. Mengapa? Setidaknya ada dua alasan mengapa kita
perlu belajar dari hewan ini. Mari sama-sama kita bercermin darinya.
Ulat pun Taat
Sudah
menjadi sunnatullah bahwa ulat memiliki siklus hidup tertentu. Sama
dengan manusia dan makhluk Allah SWT lainnya, tentu siklus hidup ini
ialah out of control, kekuasaan mutlaknya hanya di tangan
Allah. Dan tahapan ketika menjadi kepompong itu amat menarik jika kita
cermati. Coba kita tilik ayat Allah berikut:
“Langit yang
tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan
tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu
sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS Al-Israa’ [17]: 44) .
Disebutkan
dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir banyak riwayat terkait pembahasan ayat
di atas. Namun, secara singkat, kesimpulannya ialah bahwa ternyata
segala benda yang bernyawa maupun tidak bernyawa bertasbih kepada Allah.
Sehingga tak heran kalau dalam beberapa riwayat Rasulullah SAW sebut
kalimat tasbih itu sebagai dzikirnya semua makhluk di langit dan di
bumi.
Lebih lanjut, Ibnu Katsir juga menyebutkan persoalannya
ialah manusia memang tidak diberi kemampuan untuk mendengar tasbihnya
tumbuhan, hewan, dll. Dan memang itu bukanlah hal yang terpenting. Maka,
banyak kalangan menilai bahwa siklus hidup dan insting hewan, misalnya,
sebagai dua buah bukti tasbihnya hewan atau tumbuhan kepada Allah.
Logis. Karena apakah mereka (hewan dan tumbuhan) itu berkuasa
menciptakan sendiri siklus hidup dan insting yang mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan? Tentu tidak.
Sejatinya
mereka hanya menjalani apa yang telah Allah gariskan. Ketundukan dalam
menjalani sunnatullah inilah yang sering disebut sebagai tasbihnya
mereka kepada Allah.
Sehingga, masa menjadi kepompong bagi ulat
ialah masa ia menjalani perintah sekaligus sunnatullah. Ia amat taat,
tak ada sedikit pun kemauan untuk berontak kepada-Nya. Oleh karenanya,
ulat yang secara kasat mata saja ternyata sedemikian taat, bagaimana
dengan kita? Bolehlah ia itu buruk secara fisik dan rakus dalam
perangai.
Namun, bukankah saat ini juga tak sedikit manusia yang
lebih rakus daripada ulat ini. Tak peduli halal atau haram, langsung
tikam. Tidak jadi soal orang lain sakit, yang penting diri sendiri
bangkit. Lebih parah lagi, tak sedikit Muslim yang tanpa udzur syar’i
meninggalkan puasa Ramadhan yang wajib hukumnya. Lalu, masih pantaskah
manusia macam ini dikatakan lebih mulia daripada ulat?
Puasa Ulat
Seperti
sudah disinggung sebelumnya, ada fase menjadi kepompong dalam siklus
hidup ulat. Di fase inilah perilaku yang sebelumnya rakus, tak kenal
malu, dan merugikan orang lain mulai hilang. Yang ada kemudian ialah
entitas baru yang amat tunduk kepada Allah SWT. Ia tak lagi makan
sembarangan. Mungkin hanya air embun pagi hari yang jadi sumber
kehidupannya. Ia pun tak lagi berkeliaran meresahkan pemilik tanaman.
Dikatakan bahwa fase kepompong ini berkisar 16-21 hari. Lebih singkat
daripada puasa Ramadhan kita yang 29 atau 30 hari, bukan? Namun, coba
kita tengok hasilnya.
Lepas masa kepompong, maka tak ada lagi
keburukan menempel dalam pribadi makhluk bernama kupu-kupu. Yang ada
ialah keanggunan, kebersihan, ketertiban, dan ketaatan. Kupu-kupu tidak
lagi seperti ulat yang telah menjadi masa lalu kelamnya. Biarlah dulu
dihina, namun sekarang dipuja lantaran keindahannya. Tiada lagi
sembarang makan, karena kini hanya sari bunga sebagai santapan. Tidak
pula kini merugikan lantaran sekarang justru banyak dicari orang.
Sungguh perubahan drastis yang luar biasa.
Oleh karena itu,
tidakkah kita menginginkan ibadah Ramadhan kita (khususnya puasa)
berhasil mengubah pribadi kita? Tidakkah kita malu jika selepas Ramadhan
alih-alih peningkatan amal, justru kemerosotan ibadah kembali kita
jalani? Maka, tidak ada pilihan lain bagi kita, selain memanfaatkan
momen-momen terakhir Ramadhan secara optimal. Salah pemanfaatan bisa
berujung pada buramnya hari-hari pasca Ramadhan nanti. Tetap kobarkan
semangat optimalisasi ibadah di bulan suci. Tak ada jaminan tahun depan
Ramadhan bisa kita cicipi. Semoga ridho Ilahi selalu menyertai. Aamiin.