Oleh, Syekh DR. Aidh al- Qarni
Hamba yang paling dekat kepada Allah Yang Maha Esa, adalah orang yang paling dekat kepada ketaatan dan paling jauh dari kemaksiatan.
Suatau ketika, segolongan sahabat berdiri didepan pintu Amirul Mukminin Umar Bin Khattab ra, meminta izin untuk masuk pada hari pertemuan saat muktamar diadakan setiap tahunnya oleh Amirul Mukminin. Mereka hendak masuk menemuinya.
Siapakah golongan sahabat itu? Apa kriteria sahabat yang diizinkan masuk oleh Amirul Mukminin? Dan apa sajakah keahlian mereka yang menyebabkan mereka dapat masuk menemui Amirul Mukminin Umar Bin Khattab?
Mereka yang sudah berada di depan pintu itu, Abu Sufyan Bin Harb, mantan panglima perang Qurays, yang sudah masuk Islam, dan pernah memerangi Rasul SAW, dan kemudian mendapatkan hidayah. Ada Al-Absyamiy dari kalangan Bani Abdu Syams dari kalangan keluarga Arab yang paling tinggi nasabnya. Lalu, Suhail Bin Amr juru bicara Arab, dan yang lainnya ada pula Al-Harits Bin Hisyam. Mereka berdiri. Sedangkan disamping mereka ada Bilal Bin Rabah mantan budak beliau berasal dari Abesinia, Shuhaib Ar-Rumi dari bangsa Romawi, Salman al-Farisi dari negeri persia, dan Abdullah bin Mas’ud mantan penggembala ternak, yang menjadi sahabat yang mulia dengna ilmunya.
Mereka mengerumuni pintu khalifah seraya meminta izin kepada Umar ra untuk masuk menemuinya. Orang yang diperbolehkan masuk adalah orang yang paling dekat kepada Allah. Kemudian sepuluh sahabat yang mendapatkan berita gembira dijamin masuk surga, lalu masuklah ahlul Badr sesuai dengan kedudukan mereka, kemudian barulah orang lainnya yang dipilih.
Kemudian pengawal pribadi Umar bertanya: “Siapakah yang ada di depan pintu?”, ucapnya. Abu Sufyan menjawab, “Sampaikanlah kepad Amirul Mukminin bahwa aku ada disini”, cetusnya.
Selanjutnya pengawal itu bertanya,”Dan siapakah kalian?”. Mereka pun menyebutkan namanya masing-masing, dan kemudian pengawal kembali kepada Khalifah Umar Bin Khattab dan memberitahukan hal itu kepadanya.
Umar berkata, “Berilah izin kepada Bilal Bin Rabah untuk masuk!”, ujar Umar. Dan, Billal pun mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan pertemuan yang sudah disiapkan itu. “Suruh Shuhaib masuk”, ucap Umar. Tak lama Umar berkata, “Suruh Salman masuk”. Setelah itu, Umar berkata, “Ibnu Mas’ud masuk!”.
Sesudah sahabat masuk semuanya, Abu Sufyan yang hidungnya terlihat mengembang, karena marah dan merasa mendongkol yang sangat, berkata, “Demi Allah yang tiada Tuhan berhak disembah selain Dia, aku tidak mengira bila Umar membuatku lama menanti sesudah mereka masuk terlebih dahulu sebelumku”.
Mengapa hal itu terjadi? Sesungguhnya Abu Sufyan menimbang segala sesuatu dengan parameter jahiliyah. Ternyata sisa-sisa jahiliyah masih membekas dalam dirinya.
Sangat berbeda dengan Umar ra, maka parameter yang digunakannya berbeda dengan Abu Sufyan. Sesungguhnya Umar menilai segala sesuatu berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka saat itu juga Suhail Bin Amr teman dekatnya yang cukup bijak mengatakan kepadanya, “Wahai Abu Sufyan demi Allah, aku tidak peduli dengan pintu Umar dan izinnya. Akan tetapi, aku khawatir bila kita dipanggil pada hari Kiamat nanti, maka mereka masuk surga sedangkan kita ditinggalkan, karena sesungguhnya mereka dan kita diseru, ternyata mereka lah yang menyambutnya, sedangkan kita mengingkari. Oleh karena itu, pantaslah bila mereka didahulukan, sedangkan kita dibelakangkan”.
Perhatikan bagaimana Umar ra menilai martabat manusia hanya berdasarkan paramater taqwa kepada Allah Ta’ala. Dalam pemerintahan Umar ra masih belum puas, kecuali bila Bilal harus diprioritaskan atas mereka semuanya, karena sesungguhnya Bilal adalah orang yang lebih dahulu msuk Islam. Apakah kaum muslimin sudah lupa kalimat : “Ahad! Ahad!”, sedang tubuh Bilal dijemur diatas padang pasir yang terik panasnya mendidih, dipukuli, diseret dengan kuda, dan didera dengan berbagai siksaan, sementara yang menyiksanya berkata, “Tinggalkanlah Tuhan sembahanmu!”, sedang Bilal hanya mengatakan, “Ahad! Ahad!”?.
Oleh karena itu, Bilal didahulukan karena dia telah mengenal jalan menuju kepada Allah Azza Wa Jalla. Rasul SAW pernah memanggil Bilal, lalu bersabda :
“Hai Bilal, mengapa engkau mendahuluiku masuk surga? Sesungguhnya ketika aku masuk surga tadi malam (malam Isra’), aku mendengar suara terompahmu dihadapanmu”.
Bilal menjawab : “Wahai Rasulullah, tidaklah sekali-kali aku menyerukan adzan, melainkan terlebih dahulu aku melakukan shalat dua rakaat dan tidak sekali-kali aku mengalami hadast, melainkan aku berwudhu. sesudahnya, kemudian mengerjakan shalat dua rakaat sebagai kewajibanku kepada Allah”. Rasulullah shallahu alaihi wa sallam, bersabda : “Karena kedua-duanya”. Dan, Bilal tidak menjawab : “Karena aku punya harta, anak, dan kedudukan atau pangkat”.
Demikian itu, karena kedudukannya adalah taqwa kepada Allah, pangkatnya adalah kalimat “la ilaaha illalloh”, dan bekalnya adalah kalimat “la haula wa laa quwwata illaa billaah” (tiada daya untuk menghindar dari kedurhakaan) dan tiada kekuatan (untuk melakukan ketaatan) kecuali dengan pertolongan Allah, dan kendaraannya adalah, “Aku beriman kepada Allah”. Wallahu’alam.