Ketika Fir'aun Berzikir

 

Siapakah Fir’aun Sebenarnya?
Fir’aun (Inggris: Pharao) adalah gelar untuk raja-raja Mesir. Yang dihadapi dan dilawan Nabi Musa ialah Firaun Ramses II (1304-1237) SM. Al Qur’an menggambarkan Firaun sebagai tiranik (thagha), juga menyebutkannya sebagai orang yang mengaku Tuhan dan menindas rakyat. Karena itu dia adalah seorang musyrik, sebab mengaku sebagai Tuhan selain “Tuhannya Musa” (QS al-Qashash/28:38) yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Perlawanan Musa VS Firaun (Tauhid VS Syirik)
Oleh karena itu, maka Allah memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun, “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sebab dia memerintah dengan sewenang-wenang, kemudian berkatalah kalian berdua dengan tutur kata yang lembut kepadanya, kalau-kalau dia menjadi ingat (merenung) atau takut (kepada Allah)” (QS Thaha/20:43-44).

Dalam memerintah Fir’aun memiliki banyak pembantu, mereka adalah para ahli sihir. Fir’aun yang tidak suka dengan peringatan itu lalu mengumpulkan para ahli sihirnya untuk melawan Nabi Musa. Maka terjadilah suatu peristiwa yang sering kita dengar yakni perang dua kekuatan antara Nabi Musa dan tukang sihir Fir’aun. Mereka melemparkan tali dan tongkat dan berubah wujud menjadi ular-ular kecil. Atas petunjuk Allah Nabi Musa melemparkan tongkat di tangan kanannya, berubah menjadi ular besar, lalu menelan semua ular-ular milik tukang sihir Fir’aun, hingga tidak bersisa (QS Thaha/20:68-69)
Kitab suci juga menuturkan bahwa para ahli sihir Mesir yang semula mendukung Fir’aun akhirnya beriman kepada Nabi Musa juga berdoa agar kelak mati sebagai orang-orang yang Muslim (QS al-A’raf/7:126).

Mengapa Fir’aun Tidak Menyukai Bani Israel
Fir’aun (Raja Mesir) itu menjalankan kekuasaan secara sewenang-wenang, sombong dan sesat. Dia menindas dan menjajah sekelompok rakyat yang tidak disukainya, yaitu Bani Isra’il (=hamba Allah). Bani Israil hidup sengsara di bawah kekuasaannya, tabah dalam siksaan dan penindasan.

Di Mesir keturunan Nabi Yaqup berkembang biak melalui 12 anak-anaknya dan Bani Israil (Bangsa Yahudi) terbagi menjadi 12 suku (QS al-A’raf/7:60). Tetapi lama-kelamaan Fir’aun yang zalim merasa kurang senang terhadap keturunan Nabi Yaqup, karena sebagian besar mereka menganut agama tauhid yang berlawanan dengan agama Mesir yang politheisme (musyrik).

Fir’aun semakin keras dalam menindas Bangsa Ibrani, lantaran mereka menolak meninggalkan keyakinan Nabi Musa. Akhirnya Nabi Musa memutuskan hijrah bersama kaumnya mencari negeri yang lebih aman. Pada suatu malam, ia memimpin kaumnya meninggalkan Mesir menuju tanah suci. Nabi Musa membawa mereka mengungsi dengan tujuan ke Kana’an (Palestina Selatan).

Rupanya Fir’aun tidak tinggal diam, dia kerahkan pasukannya mengejar. Perjalanan Nabi Musa dan kaumnya sempat terhenti, di depan membentang samudra luas tak bertepi. Jalan keselamatan tiba, Allah mewahyukan kepada Nabi Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu” (QS
al-Syu’ara/26:63).

Samudra yang gelap dan seolah tanpa dasar itu tahu-tahu terbelah menjadi 12 lorong, sesuai dengan jumlah kelompok Bani Israil. Allah berfirman, “Maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tidak usah kuatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)” (QS. Thaha/20:77).

Fir’aun dan Seluruh Pasukannya Tenggelam di Laut Merah
Beberapa saat Fir’aun tercengang melihat laut terbelah, akal liciknya timbul, dia katakan kepada pasukannya bahwa laut terbelah oleh kesaktian dan kemahakuasaannya. Seluruh pasukan mempercayai kata-kata Fir’aun dan bergerak memasuki lorong air tersebut, tapi Nabi Musa dan kaumnya telah lebih dulu sampai ke daratan. Allah berfirman, “Pukulkanlah kembali tongkatmu, maka lautan akan kembali seperti semula” dan lorong air itu tiba-tiba menutup, Fir’aun dan pasukannya tenggelam ditelan gelombang samudra. Tak ada satupun yang selamat dan tiba di daratan.

Ketika Fir’aun Berzikir
Ketika tubuh Fir’aun terombang ambing ombak lautan, baru disadarinya kedudukan dan hakikat keberadaannya, baru dia temukan kebenaran, dia hanyalah manusia biasa yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa, manusia hina yang tak mampu mencegah bahaya.

Disaat yang genting, saat nafasnya mencapai pangkal leher, Fir’aun menyatakan keimanannya, “Aku percaya bahwa tiada Tuhan selain Tuhan yang dipercayai Bani israil, dan aku termasuk orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS. Yunus/10:70).

Zikir ini termasuk zikir terbaik, maka baik musuh maupun kekasih Allah, ketika mendapat ujian berat, mereka bergegas kembali kepada-Nya.

Dia sama sekali tidak dalam kegagahan dan keperkasaan, melainkan justru dalam kehinaan yang lebih mendasar, karena dia diperhamba oleh nafsunya sendiri untuk berkuasa dan menguasai orang lain. Inilah keadaan Firaun yang kemudian mengalami hukum Tuhan yang tragis dan dramatis dan dia baru insaf setelah malapetaka menimpa, namun sudah terlambat.

Allah tidak menerima keimanannya. Allah tidak menerima muslihat penguasa zalim itu, yang sepanjang hidupnya dia gunakan untuk membuat kerusakan di muka Bumi dan menindas orang-orang lemah. Lagipula kalimat tersebut diucapkan Fir’aun bukan dalam rangka ibadah, tetapi semata agar dirinya tidak tenggelam.
Selain pada saat mengucap kalimat itu kalbunya tidak hadir, tidak diikuti dengan suatu kesadaran dan kondisi kalbu yang lalai, sehingga dia mengucap, “Aku beriman bahwa tiada Tuhan selain Tuhan yang dipercaya oleh Bani Israil,” dengan mengalihkan pengetahuan tentang hakikat kalimat tersebut kepada orang lain. Apa yang dia ucapkan tidak lain hanyalah sekedar ‘mengekor’ kalimat yang biasa diucapkan kaum Bani Israil.

Sedangkan sebelumnya Fir’aun adalah seorang kafir, bahkan dia juga menyeru sebagaimana dituturkan dalam firman Allah, “ Dia mengumpulkan (para pembesarnya) dan menyeru memanggil kaumnya. Dia berkata, “Akulah Tuhanmu yang paling tinggi”” (QS al-Nazi’at: 23-24).

Hal ini memperkuat argumentasi atas pertanyaan, “Mengapa Allah tidak menerima keimanan Fir’aun?” lantaran kalimat Tauhid yang diucapkannya bukanlah kalimat yang sudah dihayati jauh sebelumnya.