Ketika Dewa Budjana melepas hasil proyek solo pertamanya ke pasar pada 1997, dia melakukannya tanpa pertimbangan yang rumit. “Waktu itu saya nekat saja,” katanya. Nekat memang kata yang pas untuk melabeli tindakan memasarkan sebuah album instrumental (musik tanpa penyanyi) yang mengekspos gitar. Bagaimana tidak? Biarpun gitar merupakan instrumen musik yang dimainkan begitu banyak orang — baik iseng-iseng dan amatiran maupun serius dan profesional— hingga saat itu di dalam negeri tak ada yang berani memproduksi sebuah album permainan gitar semata; apalagi dengan jenis musik yang jauh dari catchy dan lurus-lurus saja, seperti yang dilakukan The Shadows pada akhir 1950-an hingga akhir 1960-an. Album Nusa Damai, yang dikemas dalam format kaset, berisi komposisi-komposisi yang dikumpulkan Budjana sejak awal 1980-an, saat dia masih bersama band pertamanya, Squirrel.
Musik di dalamnya jauh berbeda dibandingkan dengan Gigi, yang sebetulnya justru mengangkat nama Budjana ke tataran populer. Tapi album ini justru bisa lahir berkat Gigi; sukses band pop rock yang didirikan pada 1994 inilah yang memungkinkan Budjana mengumpulkan modal untuk memproduksi proyek yang lebih personal itu. Proyek personal, dengan dana sendiri pula, tentu memberi keleluasaan. Untuk menggarapnya di studio, Budjana menggandeng antara lain Arie Ayunir (drum, perkusi), Bintang Indrianto (bas), Indra Lesmana (piano), dan Riza Arshad (akordeon). Proses rekamannya dilakukan secara langsung (live). I Dewa Gede Budjana, yang lahir di Waikabubak pada 30 Agustus 1963, memang memendam gairah yang besar terhadap gitar. Bukan saja gitar sebagai instrumen, melainkan juga sebagai alat untuk mengekspresikan seni bagaimana memainkannya.
Mengaku terpengaruh antara lain John McLaughlin dan Pat Metheny, para seniman gitar yang bagaikan menara tegak menembus langit, Budjana tekun mengasah diri. Dia percaya bahwa, dalam kata-katanya, “Gitar itu misteri, seperti wanita. Sampai mati mungkin baru ketemu 100 persen misterinya.”
Musik di dalamnya jauh berbeda dibandingkan dengan Gigi, yang sebetulnya justru mengangkat nama Budjana ke tataran populer. Tapi album ini justru bisa lahir berkat Gigi; sukses band pop rock yang didirikan pada 1994 inilah yang memungkinkan Budjana mengumpulkan modal untuk memproduksi proyek yang lebih personal itu. Proyek personal, dengan dana sendiri pula, tentu memberi keleluasaan. Untuk menggarapnya di studio, Budjana menggandeng antara lain Arie Ayunir (drum, perkusi), Bintang Indrianto (bas), Indra Lesmana (piano), dan Riza Arshad (akordeon). Proses rekamannya dilakukan secara langsung (live). I Dewa Gede Budjana, yang lahir di Waikabubak pada 30 Agustus 1963, memang memendam gairah yang besar terhadap gitar. Bukan saja gitar sebagai instrumen, melainkan juga sebagai alat untuk mengekspresikan seni bagaimana memainkannya.
Mengaku terpengaruh antara lain John McLaughlin dan Pat Metheny, para seniman gitar yang bagaikan menara tegak menembus langit, Budjana tekun mengasah diri. Dia percaya bahwa, dalam kata-katanya, “Gitar itu misteri, seperti wanita. Sampai mati mungkin baru ketemu 100 persen misterinya.”
Album debut solonya, tentu saja, belum merupakan penemuan “100 persen misteri” gitar. Walau demikian, paling tidak dia telah memperlihatkan betapa ketekunan, kecintaan, dan imajinasi bisa menghadirkan olahan gitar dalam beragam suasana. Di sini dia bukan saja menyajikan sederet komposisi dan memainkan gitar. Lebih dari itu, dia pun melakukan penataan atas komposisi-komposisi itu, berdasarkan desain yang dibayangkannya. Seperti halnya arsitek, dia merancang sajian setiap komposisi sesuai tema atau suasana yang menjadi sumber ide penulisannya.
Dalam hal ini, misalnya, dia bisa memilih atau memadukan aneka instrumen, termasuk macam-macam gitar yang dibutuhkan. Mereka yang mengikuti karier solo Steve Howe, gitaris Yes dan Asia, pasti tak asing dengan siasat seperti itu. Tapi Budjana memilih memasuki pula wilayah yang barangkali hanya mungkin terpikirkan oleh orang Timur (khususnya Bali, seperti Budjana). Di album-albumnya kemudian, selain keragaman formula musik, dia pun menyisipkan komposisi yang memendam pesan yang dalam; bahkan dengan Gitarku (2000), dia sengaja merancangnya sebagai sarana untuk relaksasi dan meditasi. Boleh dibilang ini merupakan lompatan dari apa yang sudah dia lakukan.
Album itu memuat komposisi yang disajikan sederhana. Improvisasinya tak rumit. Tata suaranya lebih banyak natural — kesukaan Budjana. Dan tema yang diekspresikan (refleksi perjalanan hidup, karier, juga hubungan baik antara musisi Indonesia dan negara-negara lain) sangat selaras dengan pola musiknya. Setelah Budjana “membuka pintu”, sekalipun tanpa timbul keramaian sama sekali, ceruk musik instrumental gitar menjadi tak seperti ruang kosong lagi, walau tak sepenuhnya ramai juga.
Setahun setelah Nusa Damai, muncul Tohpati (dari gitaris Tohpati, tentu saja). Lalu berturut-turut Di Sini Ada Kehidupan (1999, oleh gitaris senior Donny Suhendra) dan Globalism (1999, album debut Batuan Ethnic Fusion, yang menonjolkan sang master teknik double touch-tapping, Balawan).
Dalam hal ini, misalnya, dia bisa memilih atau memadukan aneka instrumen, termasuk macam-macam gitar yang dibutuhkan. Mereka yang mengikuti karier solo Steve Howe, gitaris Yes dan Asia, pasti tak asing dengan siasat seperti itu. Tapi Budjana memilih memasuki pula wilayah yang barangkali hanya mungkin terpikirkan oleh orang Timur (khususnya Bali, seperti Budjana). Di album-albumnya kemudian, selain keragaman formula musik, dia pun menyisipkan komposisi yang memendam pesan yang dalam; bahkan dengan Gitarku (2000), dia sengaja merancangnya sebagai sarana untuk relaksasi dan meditasi. Boleh dibilang ini merupakan lompatan dari apa yang sudah dia lakukan.
Album itu memuat komposisi yang disajikan sederhana. Improvisasinya tak rumit. Tata suaranya lebih banyak natural — kesukaan Budjana. Dan tema yang diekspresikan (refleksi perjalanan hidup, karier, juga hubungan baik antara musisi Indonesia dan negara-negara lain) sangat selaras dengan pola musiknya. Setelah Budjana “membuka pintu”, sekalipun tanpa timbul keramaian sama sekali, ceruk musik instrumental gitar menjadi tak seperti ruang kosong lagi, walau tak sepenuhnya ramai juga.
Setahun setelah Nusa Damai, muncul Tohpati (dari gitaris Tohpati, tentu saja). Lalu berturut-turut Di Sini Ada Kehidupan (1999, oleh gitaris senior Donny Suhendra) dan Globalism (1999, album debut Batuan Ethnic Fusion, yang menonjolkan sang master teknik double touch-tapping, Balawan).
Mereka yang menyukai album instrumental gitar pasti mengharapkan lebih banyak lagi karya. Dan lebih banyak lagi gitaris yang berani mengikuti jejak Budjana, menguak aneka misteri gitar, dan terus-menerus melakukannya. Tapi, karena berbagai alasan, ini barangkali harapan yang terlalu muluk. Muncul lagi satu-dua gitaris selain Budjana, Tohpati, Donny, dan Balawan saja rasanya sudah bagus. Yang mana pun kemungkinannya, Budjana-lah yang memulainya, juga kemudian ikut merawatnya.
Comments
Post a Comment